Kontroversi Terkait Larangan Pernikahan di Bulan Suro (Muharram)

Kontroversi Terkait Larangan Pernikahan di Bulan Suro (Muharram)

Safari Aqiqah – Bulan Suro, atau dalam kalender Islam dikenal sebagai bulan Muharram, sangat dihormati oleh masyarakat Jawa. Banyak mitos telah berubah menjadi kepercayaan yang akhirnya menjadi hukum adat yang dipuja dan dihormati. Salah satu larangan yang terkenal adalah mendirikan tenda untuk acara seperti sunatan atau pernikahan, serta menempati rumah baru di bulan Muharram. Kepercayaan ini sudah mengakar dalam sebagian kalangan masyarakat.

Sakralisasi bulan Muharram juga terlihat di kalangan masyarakat Arab. Mereka menganggap Muharram sebagai salah satu dari empat Asyhurul Hurum, bulan-bulan yang dimuliakan untuk tidak menumpahkan darah dan melakukan gencatan senjata sementara.

Akar dari kesakralan bulan Muharram berkaitan dengan tragedi pembantaian terhadap Sayid Husain bin Ali dan putra-putranya oleh pasukan Yazid bin Mu’awiyah di Karbala, Irak, pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriah. Peristiwa ini menjadi duka mendalam bagi umat Islam.

Meskipun demikian, banyak peristiwa bahagia yang terjadi di bulan Muharram, terutama pada tanggal 10 Muharram. Contohnya, Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari tirani Fir’aun. Bulan ini sebenarnya penuh dengan berkah, dengan banyak jenis ibadah seperti puasa Tasu’a dan Asyura, memberikan nafkah lebih kepada keluarga, menyantuni anak yatim, dan melakukan hal-hal positif lainnya.

Sejarah menunjukkan bahwa distorsi pemahaman tentang bulan Muharram muncul karena pengaruh sosok Ngabdullah, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Tunggul Wulung, seorang misionaris pemerintah Hindia Belanda yang mencoba mengasimilasikan adat Jawa dengan Kristen. Hal ini menyebabkan banyak pemahaman yang salah kaprah, seperti yang pernah disinggung oleh Gus Muwafiq dalam salah satu ceramahnya.

Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk melangsungkan pernikahan atau acara syukuran lainnya di bulan Muharram. Anggapan bahwa perayaan ini akan membawa petaka sangatlah ironis, mengingat banyaknya momentum keberkahan di bulan ini yang sayang untuk dilewatkan.

Kontroversi tentang pernikahan di bulan tertentu juga pernah menjadi masalah dalam adat Arab jahiliyah. Misalnya, anggapan bahwa pernikahan di bulan Syawal akan membawa kesialan, seperti yang dijelaskan oleh al-Nawawi dan dikutip oleh al-Suyuthi. Masyarakat Arab jahiliyah percaya bahwa kata “Syawal” berarti hilang atau terangkat, yang dianggap akan menghilangkan keharmonisan pasangan. Namun, hal ini dibantah langsung oleh Sayyidah Aisyah.

Norma masyarakat Jawa harus dihormati, namun bukan berarti harus dipercaya sepenuhnya dan dijadikan keyakinan kuat. Seperti yang sering disampaikan oleh para masyayikh, ada hukum yang tidak teramandemen dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi menjadi norma yang dipercayai oleh masyarakat luas. Norma tersebut hanya perlu dihormati jika masih ada kekhawatiran dari para tetua masyarakat.

Sumber gambar: Depok Pos

Penulis: Elis Parwati

×
https://pria.org/https://berita.baritoutarakab.go.id/https://ise.usj.edu.mo/publications/https://newepaper.jawapos.co.id/thumbnail/dist/https://ejournal.insuriponorogo.ac.id/config/https://rskiasawojajar.co.id/https://empowerment.co.id/https://bantenheadline.com/wp-includes/files/https://www.kendariaktual.com/wp-includes/site/https://kec.kismantoro.wonogirikab.go.id/https://elearning.balatkop-umkm.jatengprov.go.id/https://en.unib.ac.id/https://www.rsudsyamsudin.co.id/pro/gacor/